10/22/2016

HUKUM PROGRESIF



Istilah  hukum  progresif  pertama kali  diperkenalkan oleh Satjipto  Rahardjo. Eksistensi hukum  progresif  lahir dari rasa ketidakpuasan kalangan hukum terhadap teori dan praktik hukum tradisional yang berkembang. Para penganutnya mengkritisi terhadap begitu besarnya “jurang pemisah” antara hukum yang di praktikan dengan teori hukum modern saat ini. Hukum di anggap gagal dalam merespon setiap masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Seperti diketahui bahwa cita-cita hukum  adalah “keadilan” untuk manusia. Namun pada kenyataannya poin penting  tersebut masih jauh dari harapan dan cita-cita hukum tersebut.
Pengertian hukum  progresif adalah,  mengubah secara cepat, melakukan pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan berbagai terobosan-terobosan hukum. Sebagaimana pengertian di atas, dengan demikian, hukum progresif adalah serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna, terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan kesejahteraan manusia.
Potret keanekaragaman cara berhukum  itu hanya meneguhkan pendapat, bahwa cara  berhukum  itu tidak bisa terlepas dari akar-akar sosial dan kulturnya. Cara berhukum  itu bukanlah suatu yang masinal dan mekanistis, melainkan suatu bentuk kehidupan sosial yang khas. Oleh karena itu berkembangnya pemikiran berhukum secara progresif adalah tidak terlepas dari perkembangan mengenai sosiologi hukum, (Satjipto Rahadjo: 2007:13). Dengan demikian,  dapat dikatakan bahwa hukum progresif lahir dari rahim sosilogi hokum.
Menurut Mahfud MD, sebagai ketua Mahkamah Konstitusi. MK sering melanggar rambu-rambu (Misalnya: putusan MK tidak boleh berisi norma yang bersifat mengatur, MK tidak boleh memutus melebihi permohonan ultra petita, atau dalam hal Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU), MK hanya berwenang memutus perselisihan atau kesalahan rekapitulasi penghitungan suara) dengan berdasar kepada hukum progresif; atau dengan kata lain demi terwujudnya keadilan substantif. Hal ini dilakukan karena tidak ingin terikat dengan undang-undang yang tidak memberikan jalan hukum. Karena kalau tidak memberi jalan, maka tidak memberi kemanfaatan, tutur Mahfud. Padahal Undang-Undang Dasar itu dimana pun selalu bertumpu pada tiga hal: ada kepastian, keadilan dan ada kemanfatan.
Oleh karena itu, menurut Mahfud, dalam mewujudkan hal itu, diperlukan kejelasan dan ketegasan sikap hakim dalam memutuskan. Hakim (konstitusi) harus bersifat adil dan mampu mengelaborasi pertimbangan hukum dengan fakta-fakta dalam persidangan dalam sebuah putusan. Sehingga, masyarakat, di seluruh lapisan, mudah memahaminya dan merasakan manfaat dari putusan tersebut. Namun dengan catatan syaratnya diatur dengan ketat agar tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu. Karena Pengadilan mempunyai tanggungjawab besar dalam menempatkan hukum sesuai dengan kehendak masyarakat.  Dengan demikian, pengadilan tidak dapat lagi dipahami secara sempit sebagai institusi yang hanya berurusan dengan pengkongkretan undang-undang tetapi sudah menjadi institusi sosial yang peka terhadap dinamika masyarakat. Pengadilan harus mengedepankan semangat keadilan, pembelaan rakyat, dan nasib bangsa sehingga dapat dikatakan bahwa pengadilan mempunyai hati nurani (conscience of the court).
Hakim sebagai figur sentral dalam pengadilan tidak cukup lagi menggunakan kacamata yuridis tetapi juga kacamata sosial, menyertakan hati nurani dalam mengambil keputusan serta didukung dengan keberanian dalam menampilkan komitmen. Hakim progresif akan selalu bersinergi dengan kehendak rakyat meskipun harus melawan dominasi kekuasaan otoriter.
Kehidupan hukum memang tidak mungkin terlepas dari masyarakat. Hukum terus berubah dan berkembang dari waktu ke waktu. Penggerak perubahan hukum tersebut tidak lain adalah masyarakat itu sendiri. Hukum tidak bisa lagi dipahami sebagai masalah peraturan semata namun juga masalah manusia. Dengan demikian, faktor-faktor seperti sikap, perasaan, keyakinan, dan rasa malu yang merupakan bagian dari kehidupan masyarakat akan selalu menyertai.

Kondisi masyarakat mencerminkan eksistensi hukum progresif yang mengharuskan adanya cara berpikir dan bertindak secara progresif dalam berhukum. Indonesia yang sudah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum perlu memberikan jalan masuk kehadiran hukum progresif ini. Selanjutnya, efektivitas hukum progresif tersebut akan tercapai melalui sinergi penegak hukum dengan seluruh komponen masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat Indonesia berhak memiliki harapan terwujudnya hukum yang terbebas dari permainan kepentingan dan tercipta hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan berorientasi untuk membahagiakan rakyat.

No comments:

Post a Comment