Istilah
hukum progresif pertama kali
diperkenalkan oleh Satjipto
Rahardjo. Eksistensi hukum
progresif lahir dari rasa
ketidakpuasan kalangan hukum terhadap teori dan praktik hukum tradisional yang
berkembang. Para penganutnya mengkritisi terhadap begitu besarnya “jurang
pemisah” antara hukum yang di praktikan dengan teori hukum modern saat ini.
Hukum di anggap gagal dalam merespon setiap masalah yang terjadi di tengah
masyarakat. Seperti diketahui bahwa cita-cita hukum adalah “keadilan” untuk manusia. Namun pada
kenyataannya poin penting tersebut masih jauh dari harapan dan cita-cita hukum tersebut.
Pengertian hukum progresif
adalah, mengubah secara cepat, melakukan
pembalikan yang mendasar dalam teori dan praksis hukum, serta melakukan
berbagai terobosan-terobosan hukum. Sebagaimana
pengertian di atas, dengan demikian, hukum progresif adalah
serangkaian tindakan yang radikal, dengan mengubah sistem hukum (termasuk
merubah peraturan-peraturan hukum bila perlu) agar hukum lebih berguna,
terutama dalam mengangkat harga diri serta menjamin kebahagiaan dan
kesejahteraan manusia.
Potret keanekaragaman cara berhukum itu hanya meneguhkan pendapat, bahwa cara
berhukum itu tidak bisa terlepas
dari akar-akar sosial dan kulturnya.
Cara berhukum itu bukanlah suatu yang
masinal dan mekanistis, melainkan
suatu bentuk kehidupan sosial yang khas. Oleh karena itu berkembangnya
pemikiran berhukum secara progresif adalah tidak terlepas dari perkembangan mengenai sosiologi hukum, (Satjipto
Rahadjo: 2007:13). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa hukum
progresif lahir dari rahim sosilogi hokum.
Menurut Mahfud MD, sebagai ketua Mahkamah
Konstitusi. MK sering melanggar rambu-rambu (Misalnya: putusan MK
tidak boleh berisi norma yang bersifat mengatur, MK tidak boleh memutus
melebihi permohonan ultra petita, atau dalam hal Perselisihan Hasil Pemilihan
Umum (PHPU), MK hanya berwenang memutus perselisihan atau kesalahan
rekapitulasi penghitungan suara) dengan berdasar kepada hukum progresif; atau
dengan kata lain demi terwujudnya keadilan substantif. Hal ini dilakukan karena
tidak ingin terikat dengan undang-undang yang tidak
memberikan jalan hukum. Karena kalau tidak memberi jalan, maka tidak memberi kemanfaatan,
tutur Mahfud. Padahal Undang-Undang Dasar itu dimana pun selalu bertumpu pada
tiga hal: ada kepastian, keadilan dan ada kemanfatan.
Oleh karena
itu, menurut Mahfud, dalam mewujudkan hal itu, diperlukan kejelasan dan
ketegasan sikap hakim dalam memutuskan. Hakim (konstitusi) harus bersifat adil
dan mampu mengelaborasi pertimbangan hukum dengan fakta-fakta dalam persidangan
dalam sebuah putusan. Sehingga, masyarakat, di seluruh lapisan, mudah
memahaminya dan merasakan manfaat dari putusan tersebut. Namun dengan catatan syaratnya diatur dengan ketat agar tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak tertentu. Karena Pengadilan
mempunyai tanggungjawab besar dalam menempatkan hukum sesuai dengan kehendak
masyarakat. Dengan demikian, pengadilan tidak dapat lagi dipahami secara
sempit sebagai institusi yang hanya berurusan dengan pengkongkretan
undang-undang tetapi sudah menjadi institusi sosial yang peka terhadap dinamika
masyarakat. Pengadilan harus mengedepankan semangat keadilan, pembelaan rakyat,
dan nasib bangsa sehingga dapat dikatakan bahwa pengadilan mempunyai hati
nurani (conscience of the court).
Hakim sebagai figur sentral dalam pengadilan tidak cukup lagi menggunakan
kacamata yuridis tetapi juga kacamata sosial, menyertakan hati nurani dalam
mengambil keputusan serta didukung dengan keberanian dalam menampilkan
komitmen. Hakim progresif akan selalu bersinergi dengan
kehendak rakyat meskipun harus melawan dominasi kekuasaan otoriter.
Kehidupan hukum
memang tidak mungkin terlepas dari masyarakat. Hukum terus berubah dan
berkembang dari waktu ke waktu. Penggerak perubahan hukum tersebut tidak lain
adalah masyarakat itu sendiri. Hukum tidak bisa lagi dipahami sebagai masalah
peraturan semata namun juga masalah manusia. Dengan demikian, faktor-faktor seperti
sikap, perasaan, keyakinan, dan rasa malu yang merupakan bagian dari kehidupan
masyarakat akan selalu menyertai.
Kondisi masyarakat mencerminkan eksistensi hukum
progresif yang mengharuskan adanya cara berpikir dan bertindak secara progresif
dalam berhukum. Indonesia yang sudah mendeklarasikan diri sebagai negara hukum
perlu memberikan jalan masuk kehadiran hukum progresif ini. Selanjutnya,
efektivitas hukum progresif tersebut akan tercapai melalui sinergi penegak
hukum dengan seluruh komponen masyarakat. Pada akhirnya, masyarakat Indonesia
berhak memiliki harapan terwujudnya hukum yang terbebas dari permainan
kepentingan dan tercipta hukum yang menjunjung tinggi keadilan dan berorientasi
untuk membahagiakan rakyat.
No comments:
Post a Comment