Dalam
masyarakat kadang-kadang sulit dibedakan antara istilah : adat, kebiasaan, adat istiadat,
adat kebiasaan dengan hukum adat atau hukum kebiasaan. Biasanya istilah “adat” atau “kebiasaan” dipakai untuk
menunjukkan sikap hidup atau tingkah laku manusia yang bersifat universal.
Sedangkan “adat kebiasaan” atau “adat istiadat” menunjukkan pola / bentuk /
cara sikap hidup/tingkah laku manusia. Adat
kebiasaan / adat istiadat antara daerah satu dengan yang lainnya tidak selalu sama, oleh
karena itu sifatnya tidak universal melainkan lokal/regional/kedaerahan.
Setiap masyarakat hukum adat
mempunyai kecenderungan untuk mempertahankan adat istiadat / adat kebiasaan
yang berlaku dilingkungan wilayahnya. Adakalanya dipertahankan karena
kesadarannya, tapi tidak jarang pula adat istiadat dipertahankan dengan
sanksi/akibat hukum yang dijatuhkan kepada orang yang telah melakukan
pelanggaran, sehingga menjadi “hukum adat” atau “hukum kebiasaan”.
Istilah “hukum adat” adalah
terjemahan dari istilah dalam bahasa Belanda : Adatrecht. Orang yang pertama kali menggunakan istilah ini adalah C. Snouck Hurgronje, selanjutnya oleh
Van Vollen Hoven dipakai sebagai istilah teknis juridis.
Sebenarnya
istilah “hukum adat” tidak banyak diucapkan orang kebanyakan. The man in the street lebih
banyak menggunakan kata “adat” saja. Kata “adat” sendiri sebenarnya berasal dari bahasa Arab, yang berarti
kebiasaan. Sedangkan diberbagai suku atau golongan masyarakat dipakai istilah
yang bermacam-macam, seperti odot, adat, ngadat, lembaga (lambago), adat kebiasaan, basa/bicara dan sebagainya.
Ter Haar dalam
pidato Dies Natalis-Rechtshogeschool, Batavia tahun 1937, yang berjudul “Het
Adatrechtva Nederlandscd Indie i wettenschap, Pracktijk e onderwijs, menyatakan :
“Terlepas dari
bagian hukum adat yang tidak penting, terdiri dari peraturan desa dan surat
perintah raja, maka hukum adat adalah seluruh peraturan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan
dengan penuh wibawa,dan yang dalam pelaksanaanya diterapkan begitu saja,
artinya tanpa adanya keseluruhan peraturan yag dalam kelahiranya dinyatakan
mengikat sama sekali. Dengan demikian dapatlah dikatakan, bahwa hukum adat yag
berlaku itu, hanyalah diketahui dan dikenal dari keputusan-keputusan para
fungsionaris hukum dalam masyarakat itu, kepala-kepala, hakim-hakim, rapat-rapat
desa, wali tanah, pejabat-pejabat agama dan pejabat desa, sebagaimana hal itu
diputuskan, di alam dan di luar sengketa resmi, putusan-putusan mana langsung
tergantung daripada ikatan-ikatan struktural dan nilai-nilai dalam masyarakat,
dalam hubungan satu sama lain dan ketentuan timbal balik”.
Ter Haar
terkenal dengan ajarannya yang bernama “beslissingeleer”. Menurut ajaran
ini, maka Hukum adat itu dengan mengabaikan bagian-bagiannya yang tertulis yang
terdiri dari peraturan-peraturan desa, surat-surat perintah raja—adalah
keseluruhan peraturan-peraturan yang menjelma dalam keputusan-keputusan para
fungsionaris hukum (dalam arti luas) yang mempunyai wibawa (macht) seta
pengaruh (invloed) dan yang dalam pelaksanaannya berlaku dengan serta merta
(spontan) dan dipatuhi sepenuh hati. Dengan demikian, hukum adat yang berlaku
itu hanya dapat diketahui dan dilihat dalam bentuk keputusan-keputusan para
fungsionaris hukum itui,bukan saja hakim, tetapi juga kepala adat, rapat
desa,wali tanah, petugas-petugas dil lapangan agama, petugas-petugas desa
lainya. Keputusan itu bukan saja keputusan mengenai suatu sengketa yang resmi,
tetapi juga diluar itu,berdasarkan nilai-nilai yang hidup sesuai dengan alam
rohani dan hidup kemasyarakatan angota-anggota persekutuan itu.
Soepomo dalam
beberapa catatan mengenai kedudukan hukum adat menulis antara lain ; “ dalam
tata hukum baru Indonesia, baik untuk menghindarkan kebingungan pengertian,
istilah hukum adat ini dipakai sebagai sinonim dari hukum yang tidak tertulis
di dalam peraturan legislatif (Unsttutory law), hukum yang hidup sebagai
konvensi di badan-badan negara, hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan
yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota-kota maupun di
desa-desa (customary Law).
Soekanto
mengemukakan “komplek adat-adat inilah yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak
dikodifisir (ongecodificeerd) dan bersifat paksaan (dwang), mempunyai sanksi
(dari hukum itu), jadi mempunyai akibat hukum
(rechtsgevolg)”. Komplek ini
disebut hukum adat / adatrecht. Atau dengan kata lain hukum adat itu
merupakan keseluruhan adat (yang tidak tertulis) dan hidup dalam masyarakat
berupa kesusilaan, kebiasaan dan kelaziman yang mempunyai akibat hukum.
0 komentar