Oleh : Rizal Mubit
Cinta seorang santri lebih indah, lebih berarti. Tiada komunikasi meski hanya pesan singkat. Juga tanpa pertemuan apalagi kencan. Ada garis batas yang susah diterjang. Namun garis batas itu lah yang membuat cinta terasa indah karena rindu. Itu lah yang kurasakan.
Aku jatuh cinta pada seorang santri putri. Dia berasal dari daerah yang sama denganku, kecamatan Panceng Gresik. Dulu sempat kuragukan teori cinta pandangan pertama. Tapi sekarang tidak, malah aku sendiri yang mengalami.

Fadia Azma namanya. Aku jatuh cinta pada perpaduan paras wajahnya. Matanya yang sayu dan senyumnya yang syahdu. Tuhan juga memberinya anugerah otak yang cemerlang. Semua santri tahu siapa Fadia. Aku juga sudah lama tahu namanya. Namun baru sekarang kulihat wajahnya.
 Kulihat dia mengangkat tropi sebagai pemenang lomba pidato bahasa Arab se-Jawa Timur sedang aku menjadi juara pidato bahasa Inggris. Di atas podium kulirik wajahnya yang merona bahagia. Senyumnya membuatnya lebih indah.
“Kamu aslinya mana?” kutanya dia saat turun dari podium.
“Panceng.” dia hanya menjawab singkat tanpa bertanya lagi padaku.
“Aku juga dari Panceng. ......  Congratulation!!” hanya perkenalan singkat yang bisa kulakukan. Dia langsung berjalan menuju kerumunan santri putri. Aku juga sudah disambut teman-teman pendukungku.
Setelah kembali ke pondok. Tak lagi kubisa menjumpai Fadia. Garis batas yang tak terlihat antara santri putra dan putri menyiksaku. Aku tak mengerti bagaimana aku bisa terbebas dari kangen dan rindu. Semua aktifitas dipisah. Sekolah dipisah, ngaji dipisah. Hanya yang sudah kuliah saja yang bisa sekelas. Itu pun santri putri wajib bercadar. Masih lima bulan lagi aku basu masuk bangku kuliah di pondok.

0 komentar