Masyarakat Arab jauh sebelum kedatangan
Islam merupakan masyarakat yang menggunakan sistem kalender Luni-solar[1].
Bahkan pada awal permulaannya orang-orang Islam masih menggunakannya sebagai
sistem kalender ini. Dalam satu tahun kalender ini ada 12 bulan, yang memiliki
jumlah hari 29 atau 30 hari dan total berjumlah 354 hari. Untuk mengejar
ketertinggalan selama 11,53 hari setiap tahun terhadap musim tahunan, maka
disinkronisasikan dengan musim tahunan dengan menyisipkan nasi’ (intercalary
month) sebagai bulan ke-13.
Adanya
nasi’ seringkali adanya pemanipulasian terhadap bulan oleh orang-orang
Arab pra-Islam. mereka sering mengubah bulan-bulan haram menjadi bulan-bulan
halal ataupun sebaliknya, sehingga mereka dapat mendeklarasikan perang kepada
suku yang lainnya. Misalnya dalam permulaan bulan Kamariah yang semula bulan
Muharram mereka ubah dengan bulan Safar. Keberadaan nasi’ menyebabkan
mundurnya waktu haji dari semestinya yang melewatkan waktu 11 hari dan akan
kembali kepada waktu semestinya ketika sudah lewat 33 tahun. Adanya keuntungan
ekonomi yang melimpah tatkala musim haji merupakan salah satu sebab masyarakat
Arab mengunakan sistem kalender Luni-solar.
Agama
Islam datang kepada masyarakat Arab yang dibawa Muhammad menggunakan kalender Kamariah
menggantikan sistem kalender Luni-solar yang sebelumnya dipakai oleh
masyarakat Arab. Pilihan Islam terhadap penggunaan kalender Kamariah sebagai
kalender formal syar’inya bukan semata karena kebetulan, melainkan adanya
kesejalanan karakter Islam dengan sistem tersebut yang dianggap mudah. Dalam
kalender Kamariah, awal bulan ditentukan dengan mudah yaitu melalui pengamatan
sederhana terhadap Bulan. Nabi memberi petunjuk kepada umat Islam awal tentang
rukyah, petunjuk awal waktu salat, arah kiblat, dan gerhana (Nawawi, 2004:
2-4). Maka pada zaman Nabi perkembangan
hisab belum dikatakan signifikan, sedangkan untuk menentukan masalah-masalah
waktu yang berkaitan dengan ibadah, Nabi mencontohkan kepada sahabat-sahabatnya
melalui pengamatan-pengamatan terhadap kondisi alam.
Pada
masa Khulafaurrasyidin, perkembangan mengenai Hisab Rukyah kurang nampak. Hal
tersebut dikarenakan pada masa itu umat Islam masih fokus melakukan
ekspansi-ekspansi dalam memperluas wilayah kekhalifahan dan misi menyebarkan
agama Islam ke segala penjuru dunia. Para sahabat mempunyai semangat dalam
berdakwah dan berperang yang membentuk satu kesatuan yang padu dalam diri umat
Islam (Yatim, 2010: 41). Ada salah satu perkembangan yang menonjol dalam
masalah Hisab Rukyah pada masa Khulafaurrasyidin yang terjadi pada masa
kekhalifahan Umar ibn al-Khattab. Selama pemerintahannya, banyak daerah
kekuasaan yang berhasil dikuasai. Oleh karena itu Umar segera mengatur
administrasi negara dengan mencontoh administrasi yang sudah berkembang
terutama Persia. Administrasi pemerintahan diatur menjadi delapan wilayah
propinsi yaitu Makkah, Madinah, Syiria, Jazirah, Basrah, Kufah, Palestina, dan
Mesir. Khalifah Umar mendirikan beberapa departemen yang dipandang perlu. Khalifah merupakan tokoh penggagas kalender Hijriah.
Munculnya gagasan ini dikarenakan khalifah Umar ibn al-Khattab mendapatkan
surat dari Abu Musa al-Asy’ari, yang menyampaikan “sesungguhnya telah sampai
kepadaku beberapa surat dari khalifah tetapi surat-surat itu tidak ada tanggalnya”.
Kejadian
tersebut direspon positif oleh khalifah Umar ibn al-Khattab kemudian ia
mengumpulkan sahabat-sahabatnya untuk membahas kalender Hijriah. Para sahabat
mengutarakan pendapatnya masing-masing mengenai permulaan kalender Hijriah.
Musyawarah yang dipimpin oleh Amirul Mu’minin akhirnya memutuskan dasar
permulaan kalender Islam adalah peristiwa hijrahnya nabi Muhammad dari Makkah
ke Madinah. Sistem kalender tersebut masih sangat sederhana karena hanya
digunakan sebagai keperluan administrasi tanpa adanya pertimbangan posisi hilal
yang berkaitan dengan ritual keagamaan. Keputusan
khalifah Umar dalam menggunakan kalender Islam sendiri terjadi pada hari rabu
20 Jumadal Akhir 17 H, dengan jumlah hari dalam setahun sebanyak 354 hari dalam
periode basithah dan ditambah sehari ketika kabisat. Dalam jangka waktu 30
tahun dalam kalender Islam, 11 tahun merupakan tahun kabisat, dan 19 tahun
merupakan tahun basithah. Dalam setahun terdapat 12 bulan, dalam satu bulan ada
30 atau 29 hari, sedangkan untuk bulan Dzulhijjah pada tahun kabisatnya
berjumlah 30 hari. Dengan demikian, sistem penanggalan
Hijriah yang dipakai pada masa kekhalifahan Umar ibn Khattab masih menggunakan
sistem Hisab Urfi yang hanya digunakan untuk keperluan-keperluan administrasi
pemerintahannya yang tidak berkaitan dengan masalah ibadah.
Melihat beberapa aspek yang dipaparkan,
bahwa pada masa Rasulullah, Sahabat, dan Tabi’in belum begitu nampak adanya
perkembangan yang terjadi dalam ilmu Hisab. Permasalahan-permasalahan tentang
ibadah lebih dominan dengan observasi langsung dengan kondisi alam. Awal mula
penggunaan hisab untuk kalender dimulai pada masa khalifah Umar yang menggunakan
hisab urfi sebagai sarana untuk perhitungan kalender Hijriah yang dijadikan
administrasi pemerintahan ketika itu. Tidak ada yang menyebutkan bahwa kalender
yang digunakan oleh khalifah dipakai untuk menentukan awal dan akhir puasa
Ramadan.
[1] Sistem kalender ini menggabungkan antara peredaran
Matahari dan Bulan untuk menentukan penaggalannya. Sistem ini juga digunakan
dalam kalender Cina dan Yahudi.
No comments:
Post a Comment