Mengenai keberadaan Munkirus sunnah telah timbul semenjak zaman
sahabat. Hal tersebut disebabkan pada zaman sahabat terdapat orang-orang yang
kurang memperhatikan kedudukan sunnah dalam islam sebagai sumber hukum, namun
semua itu hanya sebatas perorangan.[1]
Seperti kisah seorang sahabat Imran bin Husain diminta seseorang untuk tidak
mengajarkan hadis dan Umayyah bin Khalid yang mencoba mencari seluruh
permasalahan dengan merujuk kepada Al-Qur’an saja yang kemudian diadukan kepada
Abdullah bin ‘Umar.[2]
Pada masa
Asy-Syafi’i muncul orang-orang yang menolak kehujjahan sunnah dan menolak
sunnah sebagai sumber hukum islam baik mutawatir maupun ahad. Asy-Syafi’i
pernah didatangi seseorang yang yang menolak seluruh sunnah baik yang mutawatir
maupun ahad. Ia datang untuk mengadakan diskusi dan berdebat dengan Asy-Syafi’i
panjang lebar dengan berbagai argumenasi yang dikemukakan oleh orang tersebut
kepadanya. Namun semua argumentasi yang dikemukakan dapat dibantah oleh
Asy-Syafi’i secara ilmiah, argumentatif dan rasional sehingga dapat menerima
dan mengakui sunnah sebagai hujjah dan dasar hukum islam.[3]
Menurut imam
Asy-Syafi’i, secara garis besar pengingkar sunnah dibagi menjadi tiga kelompok,
diantaranya:
1.
Menolak
sunnah secara menyeluruh, golongan ini hanya mengakui Al-Qur’an yang dapat
dijadikan hujjah.
2.
Golongan
yang menolak sunnah yang tidak semakna dengan Al-Qur’an. Hanya menerima sunnah
yang hanya semakna dengan Al-Qur’an.
3.
Golongan
yang menolak hadis Ahad dan hanya menerima yang mutawatir saja.[4]
Apabila dilihat
dengan seksama, pengelompokan yang dilakukan imam Asy-Syafi’i terhadap munkirus
sunnah berdasarkan pada penerimaan tiap kelompok terhadap sunnah, apakah
ditulak secara keseluruhan atau sebagian saja.
Golongan pertama
dan kedua merupakan pemahaman yang ekstrim karena dapat merobohkan paradigma
sunnah secara keseluruhan karena tidak dapat memahami salat, puasa, haji dengan
Al-Qur’an yang bersifat global melainkan harus memahami secara terperinci
sebagaimana yang dijelaskan dalam sunnah. Demikian untuk kelompok ketiga dapat
merobohkan sendi-sendi sunnah karena akan memisahkan antara penjelas dan yang
dijelaskan.[5]
Terjadinya
pengingkaran terhadap sunnah nabi bukanlah tanpa sebab, namun terdapat
sebab-sebab yang melatar belakangi golongan-golongan tersebut diantaranya:
1.
Adanya
kesalahan dalam penafsiran Al-Qur’an
2.
Adanya
larangan dari nabi untuk tidak menulis hadis
3.
Merasa
angkuh dan gengsi karena terlalu fanatik[6]
1)
Golongan
munkirus Sunnah
Dalam pembahasan
diatas bahwa adanya pengelompokan terhadap mungkirus sunnnah oleh imam
Asy-Syafi’i. Pada masa itu muncul golongan-golongan yang mengingkari sunnah
secara menyeluruh atau sebagian saja.
a.
Syiah
Akibat perpecahan yang terjadi pada akhir
kekuasaan Khulafaurrasyidin, kelompok Syiah hanya mengakui hadis-hadis yang di
terima oleh kalangan Ahlul Bait (keluarga Nabi saw.). mereka beranggapan bahwa
hadis yang berasal dari kalangan ahlul Biat bersifat otoritatif. Selain itu,
mereka juga menerima hadis-hadis yang diriwayatkan oleh sahabat-sahabat
pendukung Ali bin Abi Thalib seperti Salman Al-Farisy, Ammar bin Yasir,
Abdullah bin Mas’ud dan lain sebagainya. Akan tetapi mereka bersikap sebaliknya
dengan menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh mayoritas sahabat, bahkan
mencaci maki mereka dengan pedas.[7]
Setelah berjalannya waktu, Syiah sendiri
untuk saat itu terpecah menjadi beberapa golongan yang tidak memungkinkan
bertentangan satu dengan yang lainnya dalam berbagai aspek termasuk hadis. Maka
terdapat dua golongan Syiah yaitu Syiah Ghulat (ekstrim) dan Syiah Mu’tadilin
(moderat). Syiah Ghulat lebih cenderung menerima hadis Nabi dari Ahlu Bait dan
sebagian kecil sahabat pengikut Ali seperti Syiah Itsna Asyariyyah, Rafidhah,
dan lain-lain. Syiah Mu’tadilin lebih cenderung menerima hadis-hadis lain
walaupun bukan dari golongan mereka. Kelompok ini diwakili oleh Syiah Zaidiyah
dan Imamiyah.[8]
Dengan melihat keterangan di atas,
sebagian kalangan Syiah bisa dikatakan munkirus sunnah sebagian karena tidak
menerima hadis secara menyeluruh dan hanya menerima hadis terbatas dari
orang-orang Ahlul Bait dan sebagian kecil sahabat.
b.
Khawarij
Pada mulanya golongan Khawarij ini
menerima seluruh sunnah sebagai hujjah, dan menganggap semua sahabat bersifat
adil. Namun semenjak terjadinya tahkim pada perang jamal, maka mereka
menolak hadis dari sahabat-sahabat yang mengikuti peperangan tersebut. semenjak
itu mereka menolak hadis yang diriwayatkan oleh sebagian besar sahabat.[9]
Bahkan sekte tertentu menganggap bahwa orang yang berda diluar mereka merupakan
orang kafir. Sehingga adanya dugaan bahwa mereka tidak menerima hadis diluar
kelompoknya.
Namun seperti halnya syiah, bahwa ada
sebagian sekte Khawarij yang moderat. Sekte ini memakai musnad al-Rabi bin
Habib sebagai kitab hadis paling sahih menurut mereka yang didalamnya tercantum
Ali bin Abi Thalib, ‘Asiyah, Muawiyah.[10]
Oleh karena itu, penolakan yang dilakukan
oleh kalangan Khawarij terhadap hadis disebabkan kekisruhan politik yang
terjadi pada masa khalifah Ali bin Abi Thalib.
c.
Mu’tazilah
Sebagian ulama berpendapat bahwa Mu’tazilah menolak hadis
secara menyeluruh. Hal ini menurut Syeh Al-Khudhori, dan al-Syiba’i.[11]
Namun apabila melihat sumber dan fakta mengenai Mu’tazilah bahwa mereka tidak
menolak hadis sepenuhnya kecuali hadis-hadis yang bertentangan dengan mazhab
dan teori mereka yaitu menolak hadis ahad dan sebagian hadis mutawatir.
[1] Sahabuddin, Jurnal Al-Ihsan no. 2 vol.I
2005, Depok, hlm. 45.
[2] Muhammad
Mustafa Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya (terjemah),
jakarta: Pustaka Firdaus, 1994, hlm.41.
[3] Dja’far Abdul
Muchith, Al-Hadis Sebagai Sumber Hukum, Bandung: Dipoengoro, 1982, hlm.
214.
[4] Badri
Khaeruman, Otentisitas hadis: Studi Kritis Atas Kajian Hadis Kontemporer,
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004, hlm. 67.
[5] Abdul Majid
Khon, Ulumul Hadis... hlm. 32.
[6] Sohari
Sahrani, Ulumul Hadis... hlm. 146-147.
[7] Muhammad
Mustafa Azami, Hadis Nabawi...hlm. 45.
[8] Saifuddin, Arus
Tradisi Tadwin Hadis dan Hostiografi Islam: Kajian Lintas Aliran,
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011, hlm. 175-176.
[9] Muhammad
Mustafa Azami, Hadis Nabawi... hlm. 42.
[10] Saifuddin, Arus
Tradisi...hlm.178.
[11] Muhammad
Mustafa Azami, Hadis Nabawi...hlm. 43-44.
0 komentar